Tak tau apa yang akan ku tulis.
Deretan huruf tak beraturan didepanku, satu detik, satu menit, apa yang akan ku
tulis. Tak tau! Aku bukan petarung pena. Aku bukan penari kata. Siapa aku? Aku
pun tak tau! Berapa lama lagi ku mampu pandangi layar kosong tanpa goresan?
Satu huruf, satu kata, satu kalimat. Tapi dengan segera layar itu kembali
kosong. Dimana kalimat tadi? Entahlah!
Sempat ku diam.
Konsentrasiku buyar. Kalimat yang
tersusun seakan tak mampu ku transfer dalam goresan-goresan tinta hitam. Sempat
ku ingin menyerah, berhenti, mungkin ini bukan bidangku. Aku mulai diam lagi.
Kali ini tak kupandangi layar putih kosong.
Ya. Ini hidup. Ini hidupku. Awalnya
memang kosong. Indah atau tidak hasilnya nanti tergantung apa yang akan ku
tulis, apa yang akan ku gambar. Awalnya mungkin memang aku ingin menulis ini,
menulis itu, menulis apa yang sudah ada dalam benakku, ingin segera ku transfer
dalam layar itu. Tapi, ternyata bukan semua itu yang tergores dalam layar
kosong itu. Ini hidup, ya kehidupan memang harusnya begini. Kenyataan tak
seperti apa yang di inginkan.
Tak tau mulai dari mana, tak tau akan
bagaimana. Pena menari-nari berdansa dengan jari-jariku, begitu kompaknya.
Mereka tinggalkan kesan-kesan yang entah apa intinya. Tak tau! Kuperhatikan
lagi mereka, tetap berdansa dengan mesranya, semakin banyak yang dia goreskan. Aku
tersenyum. Tapi tetap tak tau apa artinya ini. Yang ada hanyalah beberapa kata
baris membentuk sebuah kisah tak tentu.
Aku mulai diam.
Kenapa semua memandangiku seperti ini?
Mereka seakan berkata “Kau bodoh!”
Kulihat lagi. Kanan. Kiri. Depan.
Belakang. Siapa? Hanya hembus angin menjawab dengan sangat sopan. Ternyata aku
sendiri. Mulai ku berbalik lagi, layar tak lagi putih. Apa yang aku tulis? Apa
ini? Siapa? Tak tau! Selalu saja begini, pertanyaan yang berujung pada jawaban
hampa. Aku bertanya, dan aku pula yang menjawab.
30 menit berlalu dan aku masih tak tau
apa yang terjadi. Semua mulai hilang. Suara tak lagi terdengar. Aku berteriak,
tapi kenapa aku tak mendengar? Aku bergerak, tapi kenapa aku diam? Mataku mulai
terbuka, masih terpejam. Kenapa semua menjadi hampa seperti ini? Goresan warna
yang susah payah aku buat hilang tanpa arah. Semudah itu kah? Diam.
Mulai ku ayunkan jemari kecil ini,
berdansa dengan pena yang tak tau entah apa yang terjadi. Aku mulai bosan
dengan keadaan yang seperti ini. Aku selalu memulai tapi belum sampai kulihat
hasilnya semua menjadi hilang kembali. Apa aku juga yang mengakhiri ini?
Goresan tanpa awal. Segala sesuatu
memang harus ada awalnya, tapi kenapa ini tidak? Ya, kenyataan baru mulai
kudapatkan. Tak semua hal ada awal dan akan ada akhirnya. Semua menjadi rancu
saat kau pikir setiap yang berakhir itu selalu ada awalnya. Tak tentu! Kenapa?
Aku tak tau!
Goresan tanpa awal. Jika tanpa awal
kenapa kau bisa mencoba untuk mengeja apa yang tergores? ini hidup kawan. Tak
semua jalan selalu kau inginkan. Semua berjalan se natural mungkin. Darimana
asal air sungai itu? Kenapa bisa mengalir? Dimana sumbernya? Kenapa bisa
menjadi sumber dari aliran sungai? Mengapa itu bisa terjadi? Stop! Tak akan
selesai. Ini hidup kawan, kau tak bisa protes apa yang sudah digariskan.
Sudahlah, ini adalah jalan untuk dilewati sebaik mungkin, jangan terlalu
memikirkan hal yang tak akan merubah apapun. Waktu tak akan menunggumu. Kau
teruskan langkahmu, atau kau akan kehilangan semuanya.
Kembali. Aku mulai diam lagi. Layar di
depanku kini sudah putih kembali. Kemana? Entahlah.
Suasana hening seketika. Sebuah suara
membuyarkan lamunanku. Aku mendengar suara-suara tawa kecil didepanku. Aku pun
mendengar teriakan dibelakangku. Bisikan hangat terdengar jelas di sampingku.
Kucoba mendengar lebih tajam, semua menjadi lebih samar terdengar. “Suara
angin” pikirku.
Kuteruskan lagi menari bersama
ditempat yang sudah beberapa menit aku tempati. Kulihat lagi lembaran putih
didepanku, hanya satu kata, “KAMU”. Ah, pikiranku kembali membuka lemari-lemari
yang sudah usang, entah berapa lama aku tak membukanya. Buku-buku yang sudah
menua kubuka perlahan. Satu buku, dua, tiga, dan ah, sungguh banyak memori ini
tersimpan dalam memori yang terkunci dengan debu. Sudah tertata rapi, tapi
kenapa kini aku juga yang membukanya lagi? Bodoh!
Ragaku tersedot dalam memori yang
lebih dalam. Entah dimana aku sekarang, tapi yang terasa hanya gelap. Kulihat
seorang lelaki, wajahnya pucat, entah kenapa. Ku perhatikan lagi. Oh, dia
sedang menata buku-buku yang akupun tak tau apa isinya. Satu buku. Oh, ternyata
tidak! Dua. Enam! Ah entahlah, tak tau berapa. Susah payah dia masukkan buku
itu dalam sebuah lemari kecil. Keluar satu, masukkan lagi buku yang lain.
Keluarkan lagi. Dimasukkan lagi buku yang lain. Tak hanya sekali dia mengulangi
kegiatan bodohnya itu. Siapa dia? Apa yang dia lakukan? Entahlah!
Ku perhatikan lagi dia. Dia mulai
diam. Aku diam. Suasana hening dan gelap seperti ini sudah biasa bagiku. Tapi,
pertanyaan masih saja memberontak dalam benakku. Siapa dia? Kenapa cuma buat
menata buku-buku itu, dia mau bersusah payah seperti itu? Tinggal dimasukkan
bukunya. Selesai! Kenapa dikeluarkan lagi? Aku diam. Semua seakan menjadi
terang dalam sekedip mata. Aku? Mungkinkah diriku? Dimana aku sekarang? Lagi.
Tak ada yang menjawab. Entahlah!
Semua menjadi gelap. Hilang entah
dimana.
Goresan tanpa awal. Tak tau kenapa
semua bisa terjadi. Banyak pertanyaan yang muncul dalam benakku, tapi semua
terjawab dalam satu kata. “Entahlah!”
Teori-teori dalam hidup sudah biasa.
Omong kosong menjadi hal yang wajar. ‘Hidup berawal dari mimpi’. Ya benar.
Tapi, ada statement ‘Kadang hidup memang tak seperti apa yang diinginkan’ , tak
bisa disanggah juga statement seperti itu. Kenyataan emang tak selalu seperti
teori hidup. Ini sebuah realita, kadang berfikirlah seperti seorang anak
jalanan, ‘hidup adalah untuk hari ini saja’. Tapi, entahlah. Masing-masing
individu punya prinsip dan teorinya sendiri. Semua orang berhak merasa benar,
berhak ngrasa bahagia, berhak menjadi makhluk yang bebas. Semua ada porsinya
masing-masing. Entahlah!
Goresan tanpa awal. Ini memang goresan
tanpa awal. Tak tau kapan aku memulai semua omong kosong ini, tapi kenapa juga
aku tak bisa tutup semua tinta yang sudah menetes. Lagi, aku mulai diam.
Awalnya aku memang ragu bisa nggak sih aku bermain sulap, merubah layar putih ini
menjadi berpadu dengan goresan hitam? Entahlah!
Tapi sekarang, ternyata semua itu
nggak sia-sia. Layar tak lagi kosong, huruf-huruf berbaris dengan rapi, tak ada
lagi gladi kotor, tak ada lagi gladi bersih. Semua berbaris begitu saja. Indah.
Ternyata, goresan ini seakan berbisik
padaku, jika kita mau kita pasti mampu. Tak ada akhir jika tak ada awal, tak
ada awal jika memang tak dimulai. Semua sudah bergandengan sesuai sistem
kehidupan yang ada. Yang penting berusaha, kita pasti bisa. Yang penting kita bisa
mencoba, kita akan tau hasilnya. Hasil memang penting. Tapi bukankah proses
juga tak bisa dianak tirikan?
Jangan tanyakan apa yang sudah, tapi
jalani apa yang ada. Jangan terlalu berharap nanti, nanti dan nanti. Tapi,
lihatlah dulu apa yang didepanmu. Naik ke tingkat kehidupan selanjutnya tak
bisa instan. Naik dulu tangga satu per satu. Itu akan lebih ringan dari pada
kita terlalu memikirkan bagaimana sampai langsung ke atas. Semua ada proses,
semua ada awal dan semua pasti akan berakhir.
Goresan tanpa awal. Tak tau lagi apa
yang akan terjadi. Omong kosong ini tak ada arti. Terbingkai begitu saja, dan
akan hancur seketika. Jangan terlalu berharap, tapi jangan pula berhenti
berharap. Semua ada sistemnya, semua ada jalannya masing-masing.
Goresan tanpa awal ini tak sengaja aku
buat. Untukmu yang melihat sisi lain dari warna hitam. Goresan ini aku akhiri
tanpa aku awali.
Salam payah!!!
waningalah.blogspot.com