Selamat Membaca

Sabtu, 19 Mei 2012

GORESAN TANPA AWAL



     Tak tau apa yang akan ku tulis. Deretan huruf tak beraturan didepanku, satu detik, satu menit, apa yang akan ku tulis. Tak tau! Aku bukan petarung pena. Aku bukan penari kata. Siapa aku? Aku pun tak tau! Berapa lama lagi ku mampu pandangi layar kosong tanpa goresan? Satu huruf, satu kata, satu kalimat. Tapi dengan segera layar itu kembali kosong. Dimana kalimat tadi? Entahlah!

Sempat ku diam.

     Konsentrasiku buyar. Kalimat yang tersusun seakan tak mampu ku transfer dalam goresan-goresan tinta hitam. Sempat ku ingin menyerah, berhenti, mungkin ini bukan bidangku. Aku mulai diam lagi. Kali ini tak kupandangi layar putih kosong.

     Ya. Ini hidup. Ini hidupku. Awalnya memang kosong. Indah atau tidak hasilnya nanti tergantung apa yang akan ku tulis, apa yang akan ku gambar. Awalnya mungkin memang aku ingin menulis ini, menulis itu, menulis apa yang sudah ada dalam benakku, ingin segera ku transfer dalam layar itu. Tapi, ternyata bukan semua itu yang tergores dalam layar kosong itu. Ini hidup, ya kehidupan memang harusnya begini. Kenyataan tak seperti apa yang di inginkan.

     Tak tau mulai dari mana, tak tau akan bagaimana. Pena menari-nari berdansa dengan jari-jariku, begitu kompaknya. Mereka tinggalkan kesan-kesan yang entah apa intinya. Tak tau! Kuperhatikan lagi mereka, tetap berdansa dengan mesranya, semakin banyak yang dia goreskan. Aku tersenyum. Tapi tetap tak tau apa artinya ini. Yang ada hanyalah beberapa kata baris membentuk sebuah kisah tak tentu.

Aku mulai diam.

Kenapa semua memandangiku seperti ini? Mereka seakan berkata “Kau bodoh!”

     Kulihat lagi. Kanan. Kiri. Depan. Belakang. Siapa? Hanya hembus angin menjawab dengan sangat sopan. Ternyata aku sendiri. Mulai ku berbalik lagi, layar tak lagi putih. Apa yang aku tulis? Apa ini? Siapa? Tak tau! Selalu saja begini, pertanyaan yang berujung pada jawaban hampa. Aku bertanya, dan aku pula yang menjawab.

     30 menit berlalu dan aku masih tak tau apa yang terjadi. Semua mulai hilang. Suara tak lagi terdengar. Aku berteriak, tapi kenapa aku tak mendengar? Aku bergerak, tapi kenapa aku diam? Mataku mulai terbuka, masih terpejam. Kenapa semua menjadi hampa seperti ini? Goresan warna yang susah payah aku buat hilang tanpa arah. Semudah itu kah? Diam.

     Mulai ku ayunkan jemari kecil ini, berdansa dengan pena yang tak tau entah apa yang terjadi. Aku mulai bosan dengan keadaan yang seperti ini. Aku selalu memulai tapi belum sampai kulihat hasilnya semua menjadi hilang kembali. Apa aku juga yang mengakhiri ini?

     Goresan tanpa awal. Segala sesuatu memang harus ada awalnya, tapi kenapa ini tidak? Ya, kenyataan baru mulai kudapatkan. Tak semua hal ada awal dan akan ada akhirnya. Semua menjadi rancu saat kau pikir setiap yang berakhir itu selalu ada awalnya. Tak tentu! Kenapa? Aku tak tau!

     Goresan tanpa awal. Jika tanpa awal kenapa kau bisa mencoba untuk mengeja apa yang tergores? ini hidup kawan. Tak semua jalan selalu kau inginkan. Semua berjalan se natural mungkin. Darimana asal air sungai itu? Kenapa bisa mengalir? Dimana sumbernya? Kenapa bisa menjadi sumber dari aliran sungai? Mengapa itu bisa terjadi? Stop! Tak akan selesai. Ini hidup kawan, kau tak bisa protes apa yang sudah digariskan. Sudahlah, ini adalah jalan untuk dilewati sebaik mungkin, jangan terlalu memikirkan hal yang tak akan merubah apapun. Waktu tak akan menunggumu. Kau teruskan langkahmu, atau kau akan kehilangan semuanya.

Kembali. Aku mulai diam lagi. Layar di depanku kini sudah putih kembali. Kemana? Entahlah.

     Suasana hening seketika. Sebuah suara membuyarkan lamunanku. Aku mendengar suara-suara tawa kecil didepanku. Aku pun mendengar teriakan dibelakangku. Bisikan hangat terdengar jelas di sampingku. Kucoba mendengar lebih tajam, semua menjadi lebih samar terdengar. “Suara angin” pikirku.

     Kuteruskan lagi menari bersama ditempat yang sudah beberapa menit aku tempati. Kulihat lagi lembaran putih didepanku, hanya satu kata, “KAMU”. Ah, pikiranku kembali membuka lemari-lemari yang sudah usang, entah berapa lama aku tak membukanya. Buku-buku yang sudah menua kubuka perlahan. Satu buku, dua, tiga, dan ah, sungguh banyak memori ini tersimpan dalam memori yang terkunci dengan debu. Sudah tertata rapi, tapi kenapa kini aku juga yang membukanya lagi? Bodoh!

    Ragaku tersedot dalam memori yang lebih dalam. Entah dimana aku sekarang, tapi yang terasa hanya gelap. Kulihat seorang lelaki, wajahnya pucat, entah kenapa. Ku perhatikan lagi. Oh, dia sedang menata buku-buku yang akupun tak tau apa isinya. Satu buku. Oh, ternyata tidak! Dua. Enam! Ah entahlah, tak tau berapa. Susah payah dia masukkan buku itu dalam sebuah lemari kecil. Keluar satu, masukkan lagi buku yang lain. Keluarkan lagi. Dimasukkan lagi buku yang lain. Tak hanya sekali dia mengulangi kegiatan bodohnya itu. Siapa dia? Apa yang dia lakukan? Entahlah!

     Ku perhatikan lagi dia. Dia mulai diam. Aku diam. Suasana hening dan gelap seperti ini sudah biasa bagiku. Tapi, pertanyaan masih saja memberontak dalam benakku. Siapa dia? Kenapa cuma buat menata buku-buku itu, dia mau bersusah payah seperti itu? Tinggal dimasukkan bukunya. Selesai! Kenapa dikeluarkan lagi? Aku diam. Semua seakan menjadi terang dalam sekedip mata. Aku? Mungkinkah diriku? Dimana aku sekarang? Lagi. Tak ada yang menjawab. Entahlah!

Semua menjadi gelap. Hilang entah dimana.

     Goresan tanpa awal. Tak tau kenapa semua bisa terjadi. Banyak pertanyaan yang muncul dalam benakku, tapi semua terjawab dalam satu kata. “Entahlah!”

     Teori-teori dalam hidup sudah biasa. Omong kosong menjadi hal yang wajar. ‘Hidup berawal dari mimpi’. Ya benar. Tapi, ada statement ‘Kadang hidup memang tak seperti apa yang diinginkan’ , tak bisa disanggah juga statement seperti itu. Kenyataan emang tak selalu seperti teori hidup. Ini sebuah realita, kadang berfikirlah seperti seorang anak jalanan, ‘hidup adalah untuk hari ini saja’. Tapi, entahlah. Masing-masing individu punya prinsip dan teorinya sendiri. Semua orang berhak merasa benar, berhak ngrasa bahagia, berhak menjadi makhluk yang bebas. Semua ada porsinya masing-masing. Entahlah!
     Goresan tanpa awal. Ini memang goresan tanpa awal. Tak tau kapan aku memulai semua omong kosong ini, tapi kenapa juga aku tak bisa tutup semua tinta yang sudah menetes. Lagi, aku mulai diam. Awalnya aku memang ragu bisa nggak sih aku bermain sulap, merubah layar putih ini menjadi berpadu dengan goresan hitam? Entahlah!

     Tapi sekarang, ternyata semua itu nggak sia-sia. Layar tak lagi kosong, huruf-huruf berbaris dengan rapi, tak ada lagi gladi kotor, tak ada lagi gladi bersih. Semua berbaris begitu saja. Indah.

     Ternyata, goresan ini seakan berbisik padaku, jika kita mau kita pasti mampu. Tak ada akhir jika tak ada awal, tak ada awal jika memang tak dimulai. Semua sudah bergandengan sesuai sistem kehidupan yang ada. Yang penting berusaha, kita pasti bisa. Yang penting kita bisa mencoba, kita akan tau hasilnya. Hasil memang penting. Tapi bukankah proses juga tak bisa dianak tirikan?

     Jangan tanyakan apa yang sudah, tapi jalani apa yang ada. Jangan terlalu berharap nanti, nanti dan nanti. Tapi, lihatlah dulu apa yang didepanmu. Naik ke tingkat kehidupan selanjutnya tak bisa instan. Naik dulu tangga satu per satu. Itu akan lebih ringan dari pada kita terlalu memikirkan bagaimana sampai langsung ke atas. Semua ada proses, semua ada awal dan semua pasti akan berakhir.

     Goresan tanpa awal. Tak tau lagi apa yang akan terjadi. Omong kosong ini tak ada arti. Terbingkai begitu saja, dan akan hancur seketika. Jangan terlalu berharap, tapi jangan pula berhenti berharap. Semua ada sistemnya, semua ada jalannya masing-masing.

Goresan tanpa awal ini tak sengaja aku buat. Untukmu yang melihat sisi lain dari warna hitam. Goresan ini aku akhiri tanpa aku awali.




jhorendra.


Salam payah!!! waningalah.blogspot.com

Terima kasih sudah berkunjung

 

padepokan abu-abu Copyright © 2015 -- Powered by jhorendra