Aku
pejamkan mata saat tulisan ini aku buat, satu detik, sepuluh detik, satu menit,
dua menit, aku mulai teringat pada salah satu buku yang pernah aku baca, entah
apa judulnya.
Satu nama ku sebut dalam hatiku, tak hanya satu kali, tiga kali ku sebut namanya, mulai ku rasakan hangatnya dekapan kasih sayangnya, dalam, dalam sekali kasihnya, dia seseorang yang tak bisa ku jelaskan seberapa besar titik-titik cintanya padaku hingga menjadi segumpal awan kasihnya dan seakan sebentar lagi akan menjatuhkan rintik-rintik rasa sayangnya padaku. Terima kasih, terima kasih, terima kasih, rinai hujan mulai jatuh dari sudut gelap mataku, maaf, maafkan aku. Tak ingin aku akhiri mengingat dia, dia yang selalu ada, menarikku agar ku tak terlalu terbang tinggi, dan mengangkatku disaat aku mulai terjatuh. Siapa dia,? Dan kenapa ku sebut pertama kali dan yang pertama pula terngiang dalam angan-angan nyataku,? Dia lah segalanya bagiku. Ya, dia.
Satu nama ku sebut dalam hatiku, tak hanya satu kali, tiga kali ku sebut namanya, mulai ku rasakan hangatnya dekapan kasih sayangnya, dalam, dalam sekali kasihnya, dia seseorang yang tak bisa ku jelaskan seberapa besar titik-titik cintanya padaku hingga menjadi segumpal awan kasihnya dan seakan sebentar lagi akan menjatuhkan rintik-rintik rasa sayangnya padaku. Terima kasih, terima kasih, terima kasih, rinai hujan mulai jatuh dari sudut gelap mataku, maaf, maafkan aku. Tak ingin aku akhiri mengingat dia, dia yang selalu ada, menarikku agar ku tak terlalu terbang tinggi, dan mengangkatku disaat aku mulai terjatuh. Siapa dia,? Dan kenapa ku sebut pertama kali dan yang pertama pula terngiang dalam angan-angan nyataku,? Dia lah segalanya bagiku. Ya, dia.
Ku lanjutkan pada nama kedua, tak jauh
dari nama pertama. Orang kedua yang mengajarkan padaku bahwa hidup itu tak
hanya menjentikkan kedua jari saja, seseorang yang menjadi tameng dalam
pertempuran hidupku. Aku mulai menghapus sisa hujan di sudut mataku. “Kamu bisa
dapatkan apa yang kamu mau, syaratnya mudah saja, ‘kamu mau dan kamu ingin’.”
“Hanya itu saja?” tanyaku heran. “Ya, kamu harus memiliki kemauan, mau untuk
berusaha. Tapi jangan lupa, berdo’a, dan lakukan dari sini, dari hatimu.”
Dengan senyum optimisnya, dia berikan benih semangat padaku saat itu. Ya, benih
semangat. Berharap suatu saat bisa tumbuh menjadi pohon yang kokoh dan tak
mudah tumbang saat aku terjatuh, terluka, dan dalam menghadapi kerikil
kehidupan ini. Dia adalah pemberi pondasi kokoh dalam diri ini.
Entah sudah berapa lama aku memejamkan
mata. Dan tak henti-hentinya ucapan terima kasih serta maaf terucap dalam hati
ini, mungkin hanya itu yang bisa ku ucapkan, layaknya bayi yang sedang belajar
bicara. Nama ketiga, ‘musuh’ terbaikku. Musuh? Ya, dia seperti musuh bagiku.
Penjegal langkahku, pengikis harapan yang sudah ada, dan penghancur kesabaran.
Tapi, kenapa kusebut dia? Kenapa dia jadi orang ketiga yang ku sebut dalam
hatiku? Tidak salah! Dia yang mengajariku bahwa hidup adalah sebuah persaingan.
Dia yang meyakinkanku bahwa bukan berapa
banyak prinsip yang harus aku miliki, tapi berapa banyak prinsip yang sudah aku
jalani. Dia adalah seseorang yang menunjukkan padaku bahwa impian tak hanya
bisa di capai dengan satu jalan saja. Bangkit dari keterpurukan dan lanjutkan
perjalanan dengan jalan lain. Hidup itu harus terus berjalan. “Terkadang kamu
memang harus mundur beberapa langkah, bukan untuk menyerah, tapi supaya kamu
bisa melakukan lompatan sejauh-jauhnya.” Ya, prinsip lompat jauh. dia memang
bisa menyadarkan dengan cara apapun, sekalipun itu cara yang paling keji dan
tidak masuk akal.
Aku
mulai tersenyum, semakin dalam kurasa hangatnya kasih mereka. Kulihat seberkas
cahaya didepanku, satu langkah, dua langkah, aku mulai mendekat, ingin cepat ku
raih cahaya itu. “Aku tak sendiri”. Gelap perlahan mulai menjauh. Sekejap
langsung semua terlihat terang, senyum dimana-mana, ini hidup? Hidup itu indah?
Hidup itu seperti ini? Bibirku mulai tampakkan senyum bahagia. Tapi... Dengan
sangat cepat cahaya itu mulai lenyap, keadaan menjadi gelap, gelap, kulihat
depan, gelap, kulihat belakang, kanan, kiriku, semua gelap. Kenapa semua bisa
berubah begitu cepat? Aku tak mengerti apa yang terjadi.
Masih
ku menutup mata, masih ku rasakan gelap, nama selanjutnya muncul dalam benakku.
Dia
bukan nama, dia bukan satu, dia bukan mereka. Dia yang mengajarkanku bahwa
persahabatan itu indah, tapi dia juga mengajarkanku bahwa hidup itu penuh
dengan air mata. Dia tak hanya dia. Dia yang menemaniku berjalan, berlari,
bahkan merangkak sekalipun, dia yang membuat aku jatuh dan terpuruk, ya dia tak
hanya tunjukkan apa itu senyum, tapi dia juga berikan air mata untukku. Dia
adalah dia. Dia yang meyakinkanku bahwa persahabatan itu ada, dengan segala
cara, dia datang membawa cahaya, berikan nama cahaya itu ‘persahabatan’. Tapi
dengan cepat, dia seakan menamparku, sadarkanku bahwa persahabatan itu hanya
kisah dalam film happy ending. Dia
mengajarkan padaku bahwa suatu kisah itu tak selalu indah, persahabatan hanya
sebuah teori.
Dia, ya dia bukan hanya dia. Dia mampu
mendaur ulang air mata yang kuberi menjadi sebuah senyum tulus, sangat tulus.
Dia layaknya pesulap yang mampu merubah tangis ini menjadi senyum bagiku,
merubah tangis sedihnya menjadi haru bagiku. Dia memang dia. Selalu tunjukkan
bahwa kasih sayang itu adalah kesabaran. Selalu sediakan air saat api mulai
melahap apa yang dia temui. Dia, kenapa harus dia? Dia bukan yang pertama
tetapi jadi yang pertama. Dia adalah guru yang mengajarkan bahwa kesabaran,
menerima, dan memberi bisa merubah segalanya, dia menggoreskan luka dengan
pisaunya. Tapi dia yang membalut luka dengan kasih sayangnya. Dia yang selalu
aku perhatikan kisahnya. Dia yang mampu menulis kisahnya sendiri. Dia
menghilang dalam gelap, tapi entah mengapa tak ada sesal tersisa. Dia bukan
mereka. Dia pantas bahagia.
Hidup bagaikan dua mata pisau. Dia yang
mampu berjalan saat kakinya tengah terluka. Dia yang mampu tersenyum kala
bibirnya sudah membeku. Ya, dia hanya ada dia. Penutup lubang yang payah. Dia
seseorang yang menyakitiku kala aku mulai menyakitinya. Dia tak ada yang lain,
dia hanyalah dia. Aku tersenyum kala dia berikan warna tanpa ingin aku
mengetahuinya, tapi aku tau. Dia memang payah. Dia tak pernah mau datang, dan
tak pernah mau pergi. Dia yang mengatakan berdampingan walaupun sebenarnya tak
sejalan. Dia memang luar biasa, dia memang satu-satunya. Dia pantas bahagia.
Dia mampu berjalan meskipun harusnya dia merangkak terlebih dulu. Tapi dia
memang hebat, berkorban demi kebahagiaannya. Dia adalah dia. Dia satu-satunya.
Dia tertawa, dan mengajakku tertawa. Dia
bukan hanya dia. Dia bukan sebuah nama. Dia menginjak-injakku seakan tak ada
makna. Tapi dia merangkak bersamaku disaat air mata menjadi sangat berharga.
Semua menunggu waktu saja. Dia membuka lagi kamus dengan kata ‘sahabat’. Dia
menuliskan arti disampingnya. Dia bukanlah satu-satunya. Dia bagaikan grafik
cosinus yang pernah ku pelajari. Dia mengajakku turun, tapi dia juga membawaku
naik. Dia membawa kata yang sama, membawa tujuan yang sama, tapi dia memberi
warna yang berbeda. Dia bukan hanya dia. Dia pergi disaat tawa mulai tertera, disaat air mata mulai tiada. Dia memang
istimewa.
Aku
tak tau berada ditempat yang sejuk padahal tak ada pohon, belukar, bangunan
atau apapun yang mampu menyembunyikan mentari dan menyerap panasnya. Aku masih
bertanya-tanya kenapa aku bisa berada ditempat dimana aku merasa panas saat
pohon-pohon mulai tumbuh subur. Hanya dia yang bisa. Dia memang dia. Dia bukan
sebuah nama. Dia sangat dekat padahal aku tak mengenal dia sebelumnya. Dia tak
seperti mereka. Dia adalah kita. Dia yang menjelaskan semua hal dari sisi
lainnya. Dia mengajarkan kesedihan. Dia mengajarkan kebahagiaan. Dia mengajakku
tertawa, dia buatku marah, dia buatku menangis yang aku bisa menghitung sudah
berapa kali aku menangis karena dia. Dia tak berikan apa-apa disaat aku memberi
apa yang dia minta. Dia yang mengajarkan bahwa kebersamaan itu tentang rasa.
Dia mengajarkan keikhlasan. Dia mengajarkan pertemuan, perpisahan, rasa hormat,
menghargai. Dia ajarkan apa yang dia ingin ajarkan. Dia berikan tapi dia tak memberikan
apa-apa. Dia selalu ada disaat aku sedang terjatuh. Awalnya dia memang hanya
sampah. Tapi akhirnya, dia adalah segalanya. Dia memang istimewa. Dia tak hanya
sebuah paragraf tak bermakna. Dia hanyalah satu kata. Tapi dia adalah
segalanya.
Tak pernah kusangka dia akan terucap. Nama
selanjutnya hadir layaknya embun, dia menyadarkan disaat mata setengah
terpejam. Dia, siapa dia? Aku tak pernah tau kapan dia mengetuk pintu. Dia tak
begitu istimewa. Tak pernah tau apa yang akan kutulis untuknya. Sekejap saja
aku mengenal, dan dia mulai menghilang saat aku mulai berkedip. Kisah yang
sesaat tapi sudah cukup untuk melukis pelangi yang indah. Dia berubah dan semua
menjadi lebih baik. Dia tertawa dan menjadikan dunia lebih ceria. Dia adalah
sebuah alasan. Dia adalah hari ini, tapi mungkin dia bukanlah sebuah harapan. Dia
terkunci saat aku mulai keluar sebentar. Dia dinginkan api dengan api. Menyumbat
banjir dengan air. Dia aneh. Dan aku suka. Tak akan cukup ceritakan kisah dalam
sebuah coretan kecil. Dia adalah sebuah alur yang manis. Air mata menetes saat
dia mulai menghilang. Dia bukan sebuah awal, tapi dia menjadi yang pertama. Kuharap
grafik sinus akan temani kisah manis kita. Semua sirna, tapi inilah dunia. Tersenyumlah! Jangan sedih! Pesanmu tiap
waktu tak akan pernah hilang, terbiangkai indah dalam angan. Dia tak istimewa,
tapi dia selalu ada.
Perlahan
kubuka mataku, tak kuat rasanya, seperti ada lem yang menempel di kelopak mata
kecil ini. Ku usap perlahan, dan aku mulai tersenyum. Aku tak sendiri. cahaya itu ada. Mereka selalu
ada. Mungkin tak terlihat disaat tawa tertera, disaat lampu menyala, atau
disaat perut mulai kenyang. Tapi mereka adalah lilin disaat lampu-lampu mulai
padam. Mereka adalah air setetes saat hidup terasa sangat panas. Ini bukan
tulisan seorang yang mahir berdansa dengan pena. Ini hanyalah goresan kecil
alarm pengingat bahwa mereka selalu ada. Ya, mereka selalu ada untukku.
Mereka?
Sebanyak itukah? Bukannya yang kutulis hanya nama pertama, nama kedua, ketiga,
lalu dengan kata ganti dia? Dia tak
hanya satu, dia adalah nama-nama penemu tawa dalam wajahku.
Mungkin akan
menjadi rumit. Ya, memang ada sebuah unsur kesengajaan. Kenapa? Karena dia
memang yang paling istimewa.
Mereka
tak ternilai. Mereka berjumlah angka terbesar dalam kamus matematika.
Bahagia
itu sederhana. Karena mereka selalu ada. Tapi, suatu saat aku pasti akan
menangis karena mereka.
Jangan
pernah merasa sendiri. semua ada porsinya masing-masing. Kesendirian akan mengajarkan
kita cara bersyukur.
Jangan
pernah merasa kesepian. Kesepian adalah sebuah intermezo dari keceriaan kita. Dan
suatu saat pasti keadaan akan menuntun kita dalam sebuah kesepian.
Nikmati
yang ada, jangan menutup hati, jangan menutup mata. Rasakan kasih sayang
orang-orang terdekat. Mereka yang selalu ada. Mereka akan menjadi pelangi
setelah hujan turun.
Peluklah
mereka. Bisikkan maaf. Ucapkan terimakasih sebelum terlambat. Semua ada
jalannya masing-masing.
Kuakhiri
membuka lembaran-lembaran buku ini. Kukembalikan buku ini dalam sebuah tempat
yang terkunci rapat. Kuserahkan pada Tuhan, agar hubungan ini tetap terjalin
indah.
jhorendra.
Salam Payah !!!
waningalah.blogspot.com