Selamat Membaca

Selasa, 12 Juni 2012

MASIH ADA CAHAYA LILIN DALAM KEGELAPAN


Aku pejamkan mata saat tulisan ini aku buat, satu detik, sepuluh detik, satu menit, dua menit, aku mulai teringat pada salah satu buku yang pernah aku baca, entah apa judulnya. 
 
http://www.andriewongso.com/files/uploads/articles/Cahaya%20Lilin_2013-02-26%2014:55:55_lilin1.jpg


Satu nama ku sebut dalam hatiku, tak hanya satu kali, tiga kali ku sebut namanya, mulai ku rasakan hangatnya dekapan kasih sayangnya, dalam, dalam sekali kasihnya, dia seseorang yang tak bisa ku jelaskan seberapa besar titik-titik cintanya padaku hingga menjadi segumpal awan kasihnya dan seakan sebentar lagi akan menjatuhkan rintik-rintik rasa sayangnya padaku. Terima kasih, terima kasih, terima kasih, rinai hujan mulai jatuh dari sudut gelap mataku, maaf, maafkan aku. Tak ingin aku akhiri mengingat dia, dia yang selalu ada, menarikku agar ku tak terlalu terbang tinggi, dan mengangkatku disaat aku mulai terjatuh. Siapa dia,? Dan kenapa ku sebut pertama kali dan yang pertama pula terngiang dalam angan-angan nyataku,? Dia lah segalanya bagiku. Ya, dia.

Ku lanjutkan pada nama kedua, tak jauh dari nama pertama. Orang kedua yang mengajarkan padaku bahwa hidup itu tak hanya menjentikkan kedua jari saja, seseorang yang menjadi tameng dalam pertempuran hidupku. Aku mulai menghapus sisa hujan di sudut mataku. “Kamu bisa dapatkan apa yang kamu mau, syaratnya mudah saja, ‘kamu mau dan kamu ingin’.” “Hanya itu saja?” tanyaku heran. “Ya, kamu harus memiliki kemauan, mau untuk berusaha. Tapi jangan lupa, berdo’a, dan lakukan dari sini, dari hatimu.” Dengan senyum optimisnya, dia berikan benih semangat padaku saat itu. Ya, benih semangat. Berharap suatu saat bisa tumbuh menjadi pohon yang kokoh dan tak mudah tumbang saat aku terjatuh, terluka, dan dalam menghadapi kerikil kehidupan ini. Dia adalah pemberi pondasi kokoh dalam diri ini.

Entah sudah berapa lama aku memejamkan mata. Dan tak henti-hentinya ucapan terima kasih serta maaf terucap dalam hati ini, mungkin hanya itu yang bisa ku ucapkan, layaknya bayi yang sedang belajar bicara. Nama ketiga, ‘musuh’ terbaikku. Musuh? Ya, dia seperti musuh bagiku. Penjegal langkahku, pengikis harapan yang sudah ada, dan penghancur kesabaran. Tapi, kenapa kusebut dia? Kenapa dia jadi orang ketiga yang ku sebut dalam hatiku? Tidak salah! Dia yang mengajariku bahwa hidup adalah sebuah persaingan. Dia yang meyakinkanku bahwa bukan berapa banyak prinsip yang harus aku miliki, tapi berapa banyak prinsip yang sudah aku jalani. Dia adalah seseorang yang menunjukkan padaku bahwa impian tak hanya bisa di capai dengan satu jalan saja. Bangkit dari keterpurukan dan lanjutkan perjalanan dengan jalan lain. Hidup itu harus terus berjalan. “Terkadang kamu memang harus mundur beberapa langkah, bukan untuk menyerah, tapi supaya kamu bisa melakukan lompatan sejauh-jauhnya.” Ya, prinsip lompat jauh. dia memang bisa menyadarkan dengan cara apapun, sekalipun itu cara yang paling keji dan tidak masuk akal.

Aku mulai tersenyum, semakin dalam kurasa hangatnya kasih mereka. Kulihat seberkas cahaya didepanku, satu langkah, dua langkah, aku mulai mendekat, ingin cepat ku raih cahaya itu. “Aku tak sendiri”. Gelap perlahan mulai menjauh. Sekejap langsung semua terlihat terang, senyum dimana-mana, ini hidup? Hidup itu indah? Hidup itu seperti ini? Bibirku mulai tampakkan senyum bahagia. Tapi... Dengan sangat cepat cahaya itu mulai lenyap, keadaan menjadi gelap, gelap, kulihat depan, gelap, kulihat belakang, kanan, kiriku, semua gelap. Kenapa semua bisa berubah begitu cepat? Aku tak mengerti apa yang terjadi.

Masih ku menutup mata, masih ku rasakan gelap, nama selanjutnya muncul dalam benakku. Dia bukan nama, dia bukan satu, dia bukan mereka. Dia yang mengajarkanku bahwa persahabatan itu indah, tapi dia juga mengajarkanku bahwa hidup itu penuh dengan air mata. Dia tak hanya dia. Dia yang menemaniku berjalan, berlari, bahkan merangkak sekalipun, dia yang membuat aku jatuh dan terpuruk, ya dia tak hanya tunjukkan apa itu senyum, tapi dia juga berikan air mata untukku. Dia adalah dia. Dia yang meyakinkanku bahwa persahabatan itu ada, dengan segala cara, dia datang membawa cahaya, berikan nama cahaya itu ‘persahabatan’. Tapi dengan cepat, dia seakan menamparku, sadarkanku bahwa persahabatan itu hanya kisah dalam film happy ending. Dia mengajarkan padaku bahwa suatu kisah itu tak selalu indah, persahabatan hanya sebuah teori.

Dia, ya dia bukan hanya dia. Dia mampu mendaur ulang air mata yang kuberi menjadi sebuah senyum tulus, sangat tulus. Dia layaknya pesulap yang mampu merubah tangis ini menjadi senyum bagiku, merubah tangis sedihnya menjadi haru bagiku. Dia memang dia. Selalu tunjukkan bahwa kasih sayang itu adalah kesabaran. Selalu sediakan air saat api mulai melahap apa yang dia temui. Dia, kenapa harus dia? Dia bukan yang pertama tetapi jadi yang pertama. Dia adalah guru yang mengajarkan bahwa kesabaran, menerima, dan memberi bisa merubah segalanya, dia menggoreskan luka dengan pisaunya. Tapi dia yang membalut luka dengan kasih sayangnya. Dia yang selalu aku perhatikan kisahnya. Dia yang mampu menulis kisahnya sendiri. Dia menghilang dalam gelap, tapi entah mengapa tak ada sesal tersisa. Dia bukan mereka. Dia pantas bahagia.

Hidup bagaikan dua mata pisau. Dia yang mampu berjalan saat kakinya tengah terluka. Dia yang mampu tersenyum kala bibirnya sudah membeku. Ya, dia hanya ada dia. Penutup lubang yang payah. Dia seseorang yang menyakitiku kala aku mulai menyakitinya. Dia tak ada yang lain, dia hanyalah dia. Aku tersenyum kala dia berikan warna tanpa ingin aku mengetahuinya, tapi aku tau. Dia memang payah. Dia tak pernah mau datang, dan tak pernah mau pergi. Dia yang mengatakan berdampingan walaupun sebenarnya tak sejalan. Dia memang luar biasa, dia memang satu-satunya. Dia pantas bahagia. Dia mampu berjalan meskipun harusnya dia merangkak terlebih dulu. Tapi dia memang hebat, berkorban demi kebahagiaannya. Dia adalah dia. Dia satu-satunya.

Dia tertawa, dan mengajakku tertawa. Dia bukan hanya dia. Dia bukan sebuah nama. Dia menginjak-injakku seakan tak ada makna. Tapi dia merangkak bersamaku disaat air mata menjadi sangat berharga. Semua menunggu waktu saja. Dia membuka lagi kamus dengan kata ‘sahabat’. Dia menuliskan arti disampingnya. Dia bukanlah satu-satunya. Dia bagaikan grafik cosinus yang pernah ku pelajari. Dia mengajakku turun, tapi dia juga membawaku naik. Dia membawa kata yang sama, membawa tujuan yang sama, tapi dia memberi warna yang berbeda. Dia bukan hanya dia. Dia pergi disaat tawa mulai tertera, disaat air mata mulai tiada. Dia memang istimewa.

Aku tak tau berada ditempat yang sejuk padahal tak ada pohon, belukar, bangunan atau apapun yang mampu menyembunyikan mentari dan menyerap panasnya. Aku masih bertanya-tanya kenapa aku bisa berada ditempat dimana aku merasa panas saat pohon-pohon mulai tumbuh subur. Hanya dia yang bisa. Dia memang dia. Dia bukan sebuah nama. Dia sangat dekat padahal aku tak mengenal dia sebelumnya. Dia tak seperti mereka. Dia adalah kita. Dia yang menjelaskan semua hal dari sisi lainnya. Dia mengajarkan kesedihan. Dia mengajarkan kebahagiaan. Dia mengajakku tertawa, dia buatku marah, dia buatku menangis yang aku bisa menghitung sudah berapa kali aku menangis karena dia. Dia tak berikan apa-apa disaat aku memberi apa yang dia minta. Dia yang mengajarkan bahwa kebersamaan itu tentang rasa. Dia mengajarkan keikhlasan. Dia mengajarkan pertemuan, perpisahan, rasa hormat, menghargai. Dia ajarkan apa yang dia ingin ajarkan. Dia berikan tapi dia tak memberikan apa-apa. Dia selalu ada disaat aku sedang terjatuh. Awalnya dia memang hanya sampah. Tapi akhirnya, dia adalah segalanya. Dia memang istimewa. Dia tak hanya sebuah paragraf tak bermakna. Dia hanyalah satu kata. Tapi dia adalah segalanya.

Tak pernah kusangka dia akan terucap. Nama selanjutnya hadir layaknya embun, dia menyadarkan disaat mata setengah terpejam. Dia, siapa dia? Aku tak pernah tau kapan dia mengetuk pintu. Dia tak begitu istimewa. Tak pernah tau apa yang akan kutulis untuknya. Sekejap saja aku mengenal, dan dia mulai menghilang saat aku mulai berkedip. Kisah yang sesaat tapi sudah cukup untuk melukis pelangi yang indah. Dia berubah dan semua menjadi lebih baik. Dia tertawa dan menjadikan dunia lebih ceria. Dia adalah sebuah alasan. Dia adalah hari ini, tapi mungkin dia bukanlah sebuah harapan. Dia terkunci saat aku mulai keluar sebentar. Dia dinginkan api dengan api. Menyumbat banjir dengan air. Dia aneh. Dan aku suka. Tak akan cukup ceritakan kisah dalam sebuah coretan kecil. Dia adalah sebuah alur yang manis. Air mata menetes saat dia mulai menghilang. Dia bukan sebuah awal, tapi dia menjadi yang pertama. Kuharap grafik sinus akan temani kisah manis kita. Semua sirna, tapi inilah dunia. Tersenyumlah! Jangan sedih! Pesanmu tiap waktu tak akan pernah hilang, terbiangkai indah dalam angan. Dia tak istimewa, tapi dia selalu ada.

Perlahan kubuka mataku, tak kuat rasanya, seperti ada lem yang menempel di kelopak mata kecil ini. Ku usap perlahan, dan aku mulai tersenyum.  Aku tak sendiri. cahaya itu ada. Mereka selalu ada. Mungkin tak terlihat disaat tawa tertera, disaat lampu menyala, atau disaat perut mulai kenyang. Tapi mereka adalah lilin disaat lampu-lampu mulai padam. Mereka adalah air setetes saat hidup terasa sangat panas. Ini bukan tulisan seorang yang mahir berdansa dengan pena. Ini hanyalah goresan kecil alarm pengingat bahwa mereka selalu ada. Ya, mereka selalu ada untukku.

Mereka? Sebanyak itukah? Bukannya yang kutulis hanya nama pertama, nama kedua, ketiga, lalu dengan kata ganti dia? Dia tak hanya satu, dia adalah nama-nama penemu tawa dalam wajahku. 

Mungkin akan menjadi rumit. Ya, memang ada sebuah unsur kesengajaan. Kenapa? Karena dia memang yang paling istimewa.

Mereka tak ternilai. Mereka berjumlah angka terbesar dalam kamus matematika.
Bahagia itu sederhana. Karena mereka selalu ada. Tapi, suatu saat aku pasti akan menangis karena mereka.

Jangan pernah merasa sendiri. semua ada porsinya masing-masing. Kesendirian akan mengajarkan kita cara bersyukur.

Jangan pernah merasa kesepian. Kesepian adalah sebuah intermezo dari keceriaan kita. Dan suatu saat pasti keadaan akan menuntun kita dalam sebuah kesepian.

Nikmati yang ada, jangan menutup hati, jangan menutup mata. Rasakan kasih sayang orang-orang terdekat. Mereka yang selalu ada. Mereka akan menjadi pelangi setelah hujan turun.

Peluklah mereka. Bisikkan maaf. Ucapkan terimakasih sebelum terlambat. Semua ada jalannya masing-masing.

Kuakhiri membuka lembaran-lembaran buku ini. Kukembalikan buku ini dalam sebuah tempat yang terkunci rapat. Kuserahkan pada Tuhan, agar hubungan ini tetap terjalin indah.


jhorendra.



Salam Payah !!!
waningalah.blogspot.com

Terima kasih sudah berkunjung

 

padepokan abu-abu Copyright © 2015 -- Powered by jhorendra