Selamat Membaca

Sabtu, 27 September 2014

Rumah Kosong



Wajahku pucat. Suaraku hilang. Dan aku hanya bisa tertunduk didepan pintu yang sedang terkunci.

Tak kuat lagi aku berteriak-teriak memanggil-manggil namamu, hampir tiga jam ku gunakan seluruh tenagaku untuk berteriak didepan pintu, mengelilingi seisi rumah, tak ada satupun yang keluar dari rumah yang penuh kenangan ini. Bahkan, jendela yang jumlahnya sampai sekarang aku tak tau berapa, tak satupun yang terbuka.

Kosong.

Tiga jam aku menunggu didepan pintu, ternyata penghuni rumah ini tak ada yang pulang juga. Aku hanya bisa duduk di lantai, didepan pintu, sembari berharap kekosongan ini akan segera berakhir.

Kemana kau?

Serangga, sarang laba-laba, debu, tanaman liar yang mulai meninggi, sudah berapa lama kau tak pulang ke rumah? Atau, kau hanya sekedar ada di rumah ini tapi tak pernah kau rawat?

Hei, aku pulang.

Bolehkah aku tau dimana kau sekarang? Atau sekedar ijinkan aku mengetahui keadaanmu hari ini?
Maaf jika aku melewatkan beberapa senja bersamamu. Sekarang lihatlah, aku duduk ditempat pertama kali kita berangan-angan untuk membuat rumah disini, ya, aku duduk di teras tempat kita dulu pernah menikmati senja berdua bersama secangkir kopi kesukaanmu.

Tapi, kau sekarang dimana? Tak sudikah kau merawat rumah ini lagi? Atau kau akan biarkan rumah ini terkunci?

Hei, aku disini, aku pulang.



 jhorendra.

Minggu, 14 September 2014

Juli... Agustus... September...

Juli... Agustus... September...

Ternyata tak semudah itu menuliskan beberapa kalimat yang sudah terangkai indah dalam salah satu ruang di otak kita. 

"Kemana saja kau selama ini? Tiga bulan sudah kau hilang, tiga bulan sudah kau tak menampakkan batang hidungmu, bahkan memberi kabar lewat pesan singkat pun kau tak sempat."
Aku hanya terdiam, tak ada satu suara pun keluar dari mulutku.
"Ah, beralasan pun tak ada gunanya, dia bukan tipe orang yang dengan mudah menerima alasan dariku" Ucapku dalam hati.
Aku memang salah, senja itu terakhir kali aku bertemu dengannya, tiga bulan yang lalu ketika mentari pencarkan sisa-sisa sinarnya dengan indah, aku sudah berjanji akan menuliskan sesuatu untuknya setiap bulan.
Tapi ternyata aku memang tak begitu mahir dalam bermain dengan kata-kata. Ini terlalu rumit bagiku untuk mencoba menulis dan menuangkan ide dalam rangkaian kata yang mudah kalian mengerti.
Juni, tiga bulan yang lalu, terakhir kali aku menulis untukmu, dengan gaya bahasa yang aku sendiri tidak begitu paham apa maksudnya. Seharusnya aku malu ketika aku mempromosikan goresan tintaku ini kepada rekan kerjaku di kantor beberapa hari yang lalu, tapi sampai sekarang masih rapi tersimpan di dalam folder draft di e-mailku, dengan tujuan alamat e-mailmu.
Aku tidak terlalu percaya diri dengan hasil tulisanku. Aku siapa? Aku punya apa?
Aku bukan seorang penulis dan hanya orang biasa yang mencoba menulis di sebuah blog sederhana dengan nama yang "tidak jelas". Hanya sebuah blog yang berisi postingan-postingan copas dari berbagai sumber. Hanya sebuah blog yang berisi satu atau dua postingan hasil karya sendiri. 
Apa yang bisa aku banggakan?

Awalnya memang hanya ingin "sekedar punya" blog. Tapi ternyata menulis memang menyenangkan. Melihat karya dari rekan lamaku yang rutin membuat tulisan di blog pribadinya kadang membuat jemari kecil ini gatal untuk beradu dengan keyboard laptop, yang memang sudah merayu untuk segera menghasilkan setidaknya satu karya setiap bulan. Tapi ternyata aku tidak begitu cocok dengan bidang ini. Menulis itu memang susah, seperti seorang insomnia yang mencoba menutup mata tapi tak bisa tertidur pulas.

Banyak hal yang terjadi semenjak terakhir kali aku bertemu denganmu, Juni, tiga bulan yang lalu. Banyak kejadian, banyak pula pelajaran yang aku dapatkan. Tapi apa boleh buat, lengan ini masih belum terlatih untuk mulai memilih irama huruf diatas keyboard laptop kesayanganku. Otak ini masih terlalu gelap untuk membuat ide-ide baru. Selain itu, aku masih belum bisa menggerakkan badanku agar bisa bersinergi dengan keinginanku untuk menulis. Dan aku memilih untuk diam dan menghilang dari kehidupanmu, tiga bulan yang lalu.

Maaf, tak kusangka kau begitu khawatir dengan keadaanku. Kau datang hari ini dengan wajah yang gelap, tak ada lagi wajah ceriamu, dengan senyum disetiap kata yang keluar dari mulutmu. Maafkan aku, aku tak bermaksud untuk meninggalkanmu, aku tak bermaksud. Aku hanya ingin menenangkan diri sejenak, sebelum aku menjadi diriku lagi.

Hei, sekarang aku punya banyak waktu untukmu. Aku punya banyak cerita luar biasa semenjak terakhir kali kita bertemu, sudah lama sekali rasanya. Banyak sekali yang ingin aku ceritakan, dan aku yakin kau punya banyak kisah yang pantas untuk aku dengarkan bukan? Bisakah kita duduk disini, memandangi senja dan hanya ada aku dan kamu?

Ku usap air matamu, dan mulai lagi ku goreskan tinta dalam lembaran-lembaran putih didepanku. Aku ingin mulai menulis lagi. Ingin ku tulis cerita baru tentang aku, tentang kamu, tentang semua yang ada di kehidupan kita, dan tak ingin ku akhiri cerita ini dengan air mata (lagi)....




jhorendra.

Terima kasih sudah berkunjung

 

padepokan abu-abu Copyright © 2015 -- Powered by jhorendra