Selamat Membaca

Minggu, 10 Juli 2011

Islam Liberal

ISLAM LIBERAL
MENIKAM ISLAM DENGAN BAJU ISLAM?

Kelak kalian akan medapatkan suatu kaum, mereka mengaku mengajak kalian kembali kepada kitabullah, namun sesungguhnya mereka membuangnya di belakang punggungnya, maka hendaklah kalian berpegang pada ilmu, dan jauhilah kalian perbuatan bid’ah...dan hendaklah kalian berpegang kepada salaf. (Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ’Anhu).


”Islam di sini terlalu fikih, terlalu hukum, terlalu sibuk ngurusin syariat, Tuhan, dan sebagainya. Tuhan nggak usah diurus,” demikian kata Prof. Dr. Arif Budiman, sosiolog dari University of Melbourne Australia sekaligus mantan dosen Universitas Satya Wacan tatkala berbicara tentang Islam.
Dia juga memiliki pemahaman (mengikuti idolanya Ahmad Wahib) sebagaimana ia katakan, ”dijaman Nabi nggak ada orang Kristen; Kafir itu orang yang memang jahat dan biadab. Jadi yang dimaksud kafir dalam konteks itu lain dengan yang sekarang. Sekarang banyak orang yang beragama lain, dan banyak orang baik-baik di luar Islam. Dulu kan orang Barbar yang diambil dan disuruh masuk Islam. Jadi kafir pun harus di kontekskan. Dengan begitu kita bisa mengerti apa yang disebut orang kafir itu. Dan bahwa berhala yang diperangi oleh Nabi adalah semata-mata berhala kapitalisme.”
            Ini adalah sebagian kecil saja dari pemahaman yang dimiliki oleh Islam aliran baru yang bernama ”Islam Liberal.” Tidak sedikit orang-orang ”Islam” yang memiliki pemahaman semacam itu, karena ajaran tersebut dibawa oleh orang-orang ”intelek”, ”cedikiawan” dam mendapatkan ilmu baru tentang Islam (yang tidak dikenal dari sumber yang aslinya), yakni dari universitas di Chicagho.

MUNCULNYA ISLAM LIBERAL

            Sudah menjadi kebiasaan Barat, mereka sengaja menciptakan bermacam istilah dan terminologi untuk meletakkan Dunia Islam dalam aneka perangkap. Mereka, misalnya, menciptakan sejumlah dikotomi : Islam Tradisional-Modern, Islam Moderat-Fundamentalis, Islam legalistik/formalistik-substantif normatif, Islam kultural-struktural, dan Islam inklusif-eksklusif; termasuk dalam hal ini adalah apa yang dikenal dengan istilah yang sangat absurd : Islam Liberal. Intinya bahwa Islam yang digali dari sumber aslinya selalunya dikonotasikan negatif sedangkan Islam dengan pemikiran barulah yang bernilai positif.
            Charles Kurzman, profesor sosiologi agama di Universitas North Carolina, memperkenalkan istilah atau gerakan baru di Dunia Islam ini dalam bukunya, Islamic Liberalism (Telah diterjemahkan oleh Penerbit Paramadina-Jakarta dan diberi judul Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang isu-isu Global).
            Sebelumnya telah muncul Leonard Binder yang mencoba menyodorkan paham tersebut dalam bukunya, Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies.

IDEOLOGI ISLAM LIBERAL

            Islam Liberal dianggap sebagai suatu respon otentik Islam dewasa ini dalam mengapresiasi gagasan-gagasan terbaik liberalisme Barat. Tema-tema umum yang dicakup dalam Islam Liberal mencakup masalah politik- kenegaraan, demokrasi, hak-hak perempuan (kesetaraan gender), hak-hak non-Muslim (Pluralisme), kebebasan berfikir (freedom of thought), dan gagasan tentang kemajuan (medernisasi). Pandangan tokoh-tokoh seperti Ali Bula (Turki), Chandra Muzaffar (Malaysia), Mohammad Talbi (Tunisia), Humayun Kabir (India), Syed Vahiduddin (India), Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid (Indonesia), Abdul-Karim Soroush (Iran), Farid Esack (Afrika Selatan), Hassan Hanafi ( Mesir), Amina Wadud-Muhsin (Amerika Serikat), Abdullahi an-Na’im (Sudan), Mehdi Bazargan (Iran), dan Fatiam Mernissi (Maroko) diposisikan sebagai pandangan yang mewakili respon kemurnian Islam atas isu-isu kontemporer.
            Islam Liberal yang digulirkan intelektual Barat, pada akhirnya lebih merupakan penarikan kesimpulan daripada mencoba menggali dan menelusuri sendiri pemikiran tersebut.
            Kurzman menyodorkan tiga gagasan mengenai Islam Liberal (hal ini barangkali bisa dijadikan representasi umum inti dari aliran tersebut), yakni :
(1)   Syariat liberal, (2) Syariat diam, (3) Penafsiran syariat
Secara ringkas, “Mazhab” Islam Liberal ini sebenarnya berakar pad aide demokrasi. Pemikiran-pemikiran lain sebagai kelanjutannya akan terlihat sangat bertumpu diatas paham demokrasi ini; seperti gagasan pemisahan negara dengan agama, hak-hak wanita dalam kepemimpinan politik dan kekuasaan, kebebasan penafsiran teks-teks agama, kebebasan berfikir dan berpendapat, toleransi beragama, dialog dan keterbukaan antar agama, pluralisme, demokrasi relligius,dll.
            Pemikiran mengenai hubungan negara dengan agama (Islam) merupakan persoalan krusial yang paling banyak mendapat penolakan dan tantangan dari pengusung Islam Liberal. Argumentasi yang sering dipakai:
(1)   Negara Islam tak pernah dikenal dalam sejarah;
(2)   Negara adalah kehidupan duniawi, berdimensi rasional, dan kolektif; sedangkan agama berdimensi spiritual dan pribadi;
(3)   Masalah kenegaraan tidak menjadi bagian integral dari Islam;
(4)   Islam tidak mengenal konsep pemerintahan definitif, misalnya dalam suksesi kekuasaan;
(5)   Rasulullah Muhammad SAW hanya menjadi penyampai risalah, tidak mengepalai suatu institusi politik;
(6)   Al-Qur’an dan Sunnah tidak pernah menyebut, Dirikanlah negara Islam! Dan sebagainya.
Kebebasan dan kebolehan beragamnya manafsirkan dalil-dalil menjadi imbas dari gagasan berpikir serta berpendapat. Demikianlah, semua pemikiran ini akan berlindung dibalik induknya: pemikiran demokrasi.

DIBALIK MUNCULNYA ”MAZHAB” ISLAM LIBERAL

            Jika dicermati dalam segi sejahterahnya, gagasan liberalisasi dalam wacana pemikiran Islam sebenarnya bukan masalah baru. Penelusuran terhadap asal-usul kemunculannya akan mengantarkan kita pada penemuan akar masalahnya, yakni ketika kelemahan dan kemunduran taraf berpikir merajalela ditengah umat Islam sendiri.
            Masa-masa itu, perjalanan Islam terposisikan sebagai pihak tertuduh. Kenneth Cragg, seorang orientalis Kristen, melihat dengan kacamata gelap ketika mengemukakan pandangannya, Islam harus mengawali perubahan dalam semangatnya atau mengecam relevansi dirinya dengan tuntutan kehidupan. Hal ini telah mendorong munculnya sikap defensif terhadap Islam, dengan pernyataan, Islam tidak menolak kemajuan.
            Fase berikutnya, Islam telah disejajarkan dengan standar-standar lain, atau dinilai dengan nilai-nilai tidak proporsional. Dengan begitu, dikatakan misalnya, Islam layak karena ia dibangun berdasarkan prinsip demokrasi. Islam bersifat dinamis dan fleksibel. Islam adalah baik, karena mengajarkan pemikiran ini dan itu. Demikianlah, para intelektual berusaha menggali Islam dengan nilai-nilai yang dipinjam dari aliran-aliran liberal asing. Walhasil, sebelum kemunculan pemikir-pemikir moderat dan liberal masa kini di Dunia Islam, sebenarnya telah muncul lokomotif liberalisasi pemikiran yang berusaha mengkompromikan pemikiran-pemikiran Islam dengan Barat. Para tokohnya antara lain adalah Rufa ah at-Thathawi (Mesir), Khairuddin at-Tinisi (Tunis), dan lain-lain.
            Dapatkah Islam, sebagai agama dan peradaban, menerima tuntutan-tuntutan modernitas? Memasuki akhir abad ke-19, pertanyaan seperti itu dan yang serupa, muncul berkaitan dengan majunya teknologi dan ilmu pengetahuan. Ernest Renan, pemikir Prancis terkenal dan salah seorang orientalis mengatakan, ”Tidak”. Bukan karena pemeluk-pemeluk Islamnya, tetapi justru karena Islam itu sendiri. Baginya, ada sesuatu yang salah dalam karakter Islam.
Hari ini, Islam digambarkan oleh media-media populer Barat sebagai ancaman Barat dalam aspek ekonomi, peradaban, demografi, dan politik. Penulis Prancis, Raymond Aron mengingatkan bahaya perang revolusioner dengan kekuatan Islam. Huntingon dalam tesisnya, ”The Clash of Civilisation” atau perang peradaban, juga menempatkan Islam sebagai calon Islam peradaban Barat di masa depan.
            Kekhawatiran kebangkitan Islam sepertinya membuat Barat merasa tidak cukup hanya menundukkan Dunia Islam secara politis, militer, dan ekonomi. Persoalan terbesar mereka kini adalah bilamana umat Islam menemukan kembali ideologinya, maka eksistensi peradaban Barat yang hanya menghasilkan kemajuan material namun telah merusak tatanan kehidupan ekonomi, sosial, dan politik akan terguncang.
            Melekatkan istilah liberal terhadap Islam adalah perang tendensius secara teologis maupun ideologis. Barat kini sedang memasang umpan untuk menghantam Islam dengan melekatkan dua konsepsi yang berbeda secara diametral dalam satu istilah. Tujuannya adalah memalingkan umat dari keterikatannya pada akidah dan hukum-hukum Islam untuk kemudian menerima pradigma nilai-nilai Barat. Padahal, Islam adalah agama samawi yuang diturunkan Allah SWT kepada Muhammad SAW, untuk mengatur interaksi antara manusia dengan Rabbnya, dengan dirinya sendiri, dan dengan manusia lainnya. Sebaliknya, liberalisme sendiri merupakan suatu filosofi yang muncul di Eropa pada pergolakan kelas menengah ketika menentang hak-hak khusus pihak kerajaan, aristokrat, dan kaum gereja. Liberalisme muncul pada masa renaissance yang menjadi pemicu terjadinya Revolusi Prancis dan Amerika.

TAK BUTUH ATURAN BARU

Pada intinya, madzhab Islam liberal berupaya untuk menggabungkan antara Islam dengan budaya Barat, atau mencampurkan Islam dengan aturan-aturan lain yang menurut persangkaan mereka akan lebih sempurna dari aturan Islam murni yang diturunkan oleh Allah melalui RasulNya Muhammad SAW. Sungguh ini adalah tujuan yang keji terhadap Islam, tikaman yang menyakitkan atas satu-satunya dien yang diridhai oleh Allah ini. Padahal Allah telah mengabarkan kepada kita bahwa :
”Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu (Islam).”
Sehingga tak butuh lagi ideologi-ideologi sampah lain yang justru akan mengotori kesucian Islam itu sendiri.

Wallahu a’alam

Sumber : Buletin Islam USWATUNA

0 comments:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung

 

padepokan abu-abu Copyright © 2015 -- Powered by jhorendra